Masalah kemiskinan seolah tidak ada habisnya. Apalagi di Indonesia. Ya, memang itu masalah yang hingga kini belum selesai. Menurut saya, permasalahannya terletak pada sumber daya manusia di Indonesia yang belum optimal. Hal ini terjadi karena saling keterkaitan antara kemiskinan dengan pendidikan yang rendah. Entah karena pendidikan yang rendah mengakibatkan kemiskinan atau sebaliknya. Namun, ini harus kita sadari bahwa kedua masalah ini perlu dituntaskan dengan segera. Untuk mengatasi pendidikan yang rendah harus ada kepedulian dan perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan penyebaran pendidikan yang merata di seluruh Indonesia. Sehingga, mereka (masyarakat miskin) dapat menikmati pendidikan setinggi-tingginya dengan biaya sangat rendah. Karena itu, bila sumber daya manusia itu bagus, kuat, maka akan menghasilkan produk-produk yang bagus pula. Oleh karena itu, produk-produk yang dihasilkan masyarakat Indonesia itu akan berguna bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sebenarnya, masalah-masalah tadi merupakan tanggungjawab pemerintah Indonesia terhadap rakyatnya. Namun, sejak negeri ini merdeka tahun 1945 hingga sekarang, saya belum melihat keseriusan pemerintah dalam menangani masalah pendidikan dan kemiskinan. Dulu untuk pendidikan, dana yang dianggarkan sekitar 7 % atau di bawah 10 %. Meski memang dalam UUD 1945 disebutkan bahwa anak-anak miskin dan terlantar dipelihara negara atau mendapatkan jaminan hidup dari pemerintah, namun itu sampai sekarang belum terwujud. Memang, masalah kemiskinan di Indonesia ini bagaikan piramida. Terlalu banyak orang miskin dibandingkan orang kaya. Terlalu banyak mustahik (penerima zakat) dibandingkan muzaki (pemberi zakat). Jadi, walaupun semua orang kaya di Indonesia mengeluarkan zakatnya, 2.5 %, pasti tidak akan mencukupi karena orang yang menerimanya terlalu banyak. Prosentasenya tidak seimbang.
Jadi, jika pemerintah mengurus kemiskinan dan anak-anak terlantar di seluruh Indonesia, maka akan kehabisan devisa atau anggaran negara. Pasti tidak akan cukup. Meski begitu, tetap saja pemerintah harus memerhatikan dan bekerja keras mengurus dan mencarikan solusi yang terbaik untuk orang-orang miskin dan anak-anak terlantar agar sejahtera. Sehingga, dari tahun ke tahun orang-orang miskin atau anak-anak terlantar itu jumlahnya berkurang. Kalau sekarang yang tampak adalah pihak swasta yang banyak menanggulangi orang-orang miskin dan anak-anak dhuafa.
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa tidak akan disebut beriman bila tidak memerhatikan saudaranya sendiri. Jadi, yang diajarkan Nabi di masa awal Islam di Mekah, adalah tentang kepedulian sosial. Sedangkan ukuran orang yang disebut beragama itu, dalam surat Al-Maun disebutkan, adalah mereka yang memberi makan anak yatim dan tidak menelantarkan atau menghardiknya. Dalil ini menjadi ukuran bahwa orang yang beragama adalah yang mempunyai kepedulian sosial terhadap kehidupan masyarakat dhuafa. Sedangkan yang disebut pendusta agama adalah orang yang tidak memberi makan orang miskin, atau tidak peduli pada anak yatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar